Selasa, 01 Agustus 2017

SANG JENDRAL BERTEMU LETNAN JENDRAL

Dua Jenderal Bersekutu Mengeroyok Si Tukang Kayu

Dua teman sebarak alumnus Lembah Tidar itu bertemu . Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo Subianto (PS) seperti sedang reuni khusus. Tidak ada teman seangkatan lain ikut seperti Ryamizard Ryacudu (RR). SBY, PS dan RR adalah produk taruna AKABRI angkatan 1970.

SBY adalah putra Raden Soekotjo, pensiunan pembantu letnan satu dan petinggi Koramil di Pacitan.

PS adalah cucu pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) Margono Djojohadikusumo dan anak dari Menteri Sumitro Djojohadikusumo. PS masuk Akabri, saat ayahnya Sumitro menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1968-1973).

RR adalah anak dari Mayor Jenderal Mussanif Ryacudu, salah satu jenderal kesayangan Sukarno.

SBY dan PS digembleng bersamaan dalam kawah candradimuka Akmil Lembah Tidar Magelang. Keduanya mendapat ilmu militer dari pelatih dan guru yang sama. “SBY itu taruna teladan dan saya taruna yang nakal," kata Prabowo Subianto Djojohadikusumo suatu kali.

Keduanya juga mendapat jodoh dari putri dua jenderal berpengaruh. SBY menembak Kristiani Sarwo Edhie Wibowo putri Letjen Sarwo Edhie Wibowo, Gubernur Akmil 1970-1973. Dari perkawinan  ini SBY dianugerahi dua anak orang putra. Agus Harimurti Yudhoyono dan Eddie Baskoro Yudhoyono.

PS menembak Siti Hediati  Heriadi putri Jenderal Besar Soeharto, Presiden RI ke 2. Dari pernikahan ini PS mendapat satu orang putra Didit Prabowo.

SBY dan PS dua sosok taruna yang berpengaruh di angkatannya. Pintar dan cerdas. Mereka bersaing menjadi yang terbaik di angkatannya. SBY mengakhiri dinas militer dengan pangkat terakhir Jenderal sedangkan PS Letnan Jenderal.

Sejatinya dalam pendidikan militer  sikap korsa adalah jiwa prajurit. Doktrin korsa adalah senasib sepenanggungan, senasib sependeritaan. Korsa menjadi doktrin utama  dalam jiwa pikiran seorang prajurit.

Hanya teman yang menjadi pelindung saat bertempur. Hanya teman yang menyelamatkan saat diserang musuh. Maka kesetiaan korsa itu harga mati. Tidak bisa ditawar atau diabaikan.

Tidak heran sikap korsa prajurit militer sulit dicari tandingannya. Jangan coba-coba melukai seorang prajurit, seribu temannya akan datang membalas.

Sayangnya selentingan kabar kurang sedap terdengar dari hubungan korsa taruna SBY dan PS.

Menurut Hermawan Sulistyo, mantan Ketua Tim Investigasi TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Kerusuhan Mei 1998, tak banyak orang bertanya kenapa Prabowo telat lulus. Dalam sebuah diskusi publik di masa pasca-Pilpres pada 3 Juli 2014 di Jakarta, Hermawan berbicara keras soal Prabowo.

“Anda tidak tahu bahwa SBY itu pernah dipukul Prabowo waktu di Akmil, di Akabri waktu itu?” kata Hermawan. “Kenapa tidak ada orang yang bertanya dalam catatan biodata Prabowo, harusnya lulus tahun 1973 kenapa lulusnya tahun 1974? Ini enggak ada orang yang nanya. Katanya Prabowo pintar, kok enggak naik kelas? Berarti ada yang lain, kan? Ya itu tadi, nggebukin SBY, gitu.”

Menurut Hermawan, semua bermula dari kaburnya Prabowo dan tiga kawannya. Dari tiga kawan itu di antaranya ada Ryamizard. Mereka kabur ke Jakarta untuk menghadiri acara Siti Hediati Hariyadi (alias Titiek Soeharto, yang kemudian menjadi istri Prabowo). Apa pun tujuannya, ulah mereka ketahuan Gubernur Akabri Sarwo Edhie Wibowo. Mereka heran kenapa mereka ketahuan.

“Satu-satunya orang yang tahu adalah SBY, karena dia diajak (tapi) enggak mau. Akhirnya hari Senin habis dimarahin, hari minggu ketangkep, senin malamnya mereka tanya-tanya sampai bonyok.”

45 tahun kemudian, beberapa hari yang lalu, jarum jam sejarah berputar balik. Dua seteru saat di Lembah Tidar itu bertemu kembali. PS bertandang ke rumah SBY Cikeas, Bogor.

Mereka bertemu dengan pangkat yang sejajar. Keduanya kini menjabat ketua umum partai politik. SBY Ketum Partai Demokrat sedangkan PS Ketum Partai Gerindra.

Entah apa yang ada dibenak SBY saat PS datang memberi hormat dan memanggilnya dengan panggilan Presiden SBY. Hanya SBY dan Tuhan yang tahu.

Yang jelas,  Jenderal Purnawiranan SBY dan Letjen (dipecat dari ABRI) PS telah bermetamorfosis menjadi politijus. Politikus kudu pintar menyimpan emosi. Meski masih menyimpan luka, senyum manis harus dikembangkan apalagi saat disorot kamera wartawan.

Sambil menikmati pedasnya nasi goreng seharga Rp.12.000,- itu, kedua jenderal itu curcol. SBY dan PS tetiba galau dengan dinamika politik yang menurut keduanya merugikan publik.

Pasalnya president thresold atau ambang batas 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional  untuk bisa mengusung capres yang disetujui Fraksi DPR pro pemerintah dianggap kesewenang-wenangan penguasa.

PS malah dengan kasar menyebut PT 20 persen adalah lelucon politik untuk mengelabui publik. Maklum, PT 20 persen ini bakal menyulitkan langkah SBY dan PS bermanuver untuk mengusung jagoannya pada pilpres 2019.

Resonansi yang galau itu membuat keduanya melupakan cerita kelabu masa lalu. Demi target kekuasaan RI 1 pada 2019, keduanya bersekutu untuk mengeroyok si Tukang Kayu Jokowi. Dua seteru  jenderal itu bersekutu mengeroyok si Tukang Kayu.

Jokowi dituding SBY telah melakukan abuse of power, menyalahgunakan kekuasaan alias menghalalkan segala cara demi melanggengkan kekuasaannya. Indikasinya jelas tergambar dari PT 20 persen. Belum lagi terbitnya Perppu Ormas anti Pancasila. SBY gusar, PS gundah. Gusar bercampur gundah berujung Andi Lau alias antara dilema dan galau.

Lucunya, SBY  lupa bahwa PT 20 persen adalah produk pikirannya sendiri yang diartikulasikan Syarif Hasan orang kepercayaannya pada saat SBY berkuasa pada  2009. Demokrat pada 2009 ngotot memaksakan ambang batas syarat capres dengan PT 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.

Anehnya, setelah kursi  Demokrat melorot pada Pileg 2014, SBY ngotot menyebut PT 20 persen tidak fair. Aneh tapi nyata. Saat berambut hitam klimis SBY ngotot memaksakan usulan PT 20 persen. Namun saat rambut sudah memutih malah merengek memelas minta nol persen.

Padahal dalam dunia persilatan semakin memutih rambut seorang pendekar seharusnya semakin tinggi  ilmu silatnya. Artinya PT sejatinya harus lebih tinggi. Dinaikkan targetnya, bukan malah diplorotin sampai nol. Bolehlah kita sebut dalam dunia persilatan ini disebut the looser alias pecundang. Tidak pernah mau kalah, mau menang sendiri.

Jokowi tentu tertawa geli melihat dua seteru jenderal ini bersatu mengeroyoknya. Dengan datar Jokowi merespon pertemuan dua jenderal itu sebagai pertemuan biasa-biasa saja.

Pertemuan dua jenderal gaek yang lagi galau karena harapan ambisi bisa mencalonkan jagoannya pada pilpres 2019 tidak kesampaian. Ambisi kandas direrumputan meminjam  kata Ebiet G Ade.

Alih-alih Jokowi membalas serangan SBY dan PS, Jokowi malah semakin giat belajar main sulap. Sementara sang istri Ibu Negara Iriana Widodo malah berlakon ngelawak di acara bahaya narkoba di Jateng.

Untuk menaklukkan Jokowi bukan perkara mudah. Jokowi memiliki banyak ilmu silat dari beragam padepokan. Kadang Jokowi lentur seperti pendekar Wu Shu, kadang bisa keras seperti pendekar karate. Kadang Ia bisa lembut seperti pendekar Tai Chi, dalam hitungan menit Ia menakutkan seperti pendekar kung fu seperti Bruce Lee.

Kemampuan bermain silat politik Jokowi sudah menyentuh level tertinggi. Bukan karena Ia pernah digembleng oleh Jenderal Luhut Pandjaitan, namun alam semesta yang telah mengajarinya hidup. Alam yang menempa karakter Jokowi. Jokowi telah selesai dengan dirinya sendiri.

Untuk mengalahkan Jokowi, syaratnya lawannya juga harus sudah selesai dengan dirinya sendiri. Sayangnya SBY meski sudah sepuluh tahun pernah berkuasa masih saja bernafsu membangun dinasti Cikeas. Anaknya Agus Harimurti Yudhoyono dipaksa masuk politik demi ambisi SBY.

Setali tiga uang, PS juga belum selesai dengan dirinya. Ia masih bermimpi menjadi macan. Sementara tunggangannya kuda. PS masih penuh nafsu dan ambisi menjadi penguasa untuk membayar hutang rasa malu dipecat dari tentara karena diduga terlibat aksi penculikan mahasiswa pada 1998.

Jangan coba-coba beradu nyali dengan tukang kayu ini. Panglima TNI Gatot  Nurmantyo dan Kepala BIN Budi Gunawan bahkan harus keringat dingin ketar-ketir mewanti-wanti Presiden Jokowi agar mengurungkan niatnya pergi ke Monas menemui 7 juta peserta aksi 212 pimpinan Rizieq Shihab.

Keselamatan Presiden Jokowi sangat berisiko tinggi ditengah kepungan ratusan ribu peserta aksi demo 212. Alih-alih mempertimbangkan pendapat penasihat keamanannya, Jokowi malahan melenggang kangkung menuju panggung tempat Rizieq Shihab pidato. Rizieq kaget bukan kepalang. Panggung itu akhirnya menjadi milik Jokowi. Semua melongo.

Jokowi melakoni hidupnya dengan berjalan pada falsafah Jawa
“Dadio banyu, ojo dadi watu” (Jadilah air, jangan jadi batu). Ia berusaha tawadhu meski telah menjadi orang nomor satu di republik ini.

Ia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ia tidak membalas fitnah dengan fitnah. Baginya  tenaga, waktu, pikiran dan perasaannya hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja.

Dalam bingkai lain, Jokowi bukanlah seperti orang lemah yang sering disangkakan banyak lawan lawannya. Sering lawannya memberi stempel Jokowi itu presiden plonga plongo. Presiden penakut. Presiden boneka.

Kita sudah bisa melihat pribadi Jokowi yang bernyali dan petarung. Rekam jejak keberanian dan ketegasannya berlimpah.

Sebutlah soal mafia migas Petral yang dibubarkan. Bandingkan dengan jaman SBY yang menjadikan Petral bancakan mafia migas dengan bisnis rentenya.

Sebutlah juga soal mafia illegal fishing yang diberantas tanpa kompromi. Saat SBY memberi keleluasaan pemain illegal fising menguras kekayaan ikan laut kita, Jokowi malah memerintahkan pelaku illegal fishing yang tertangkap diledakkan kapalnya.

Kita juga ingat perintah perang pemberantasan narkoba tanpa belas kasihan. Kita juga tahu perintah gebuk Jokowi pada TNI Polri jika mengetahui ada PKI.

Strategi permainan silat soft dan hard   Jokowi ini kita baca ibarat dokter sedang mendiagnosa penyakit pasiennya. Jika masih bisa dibereskan dengan obat, maka Jokowi memberi obat.

Namun jika penyakit itu sudah menggerogoti tubuh induk, maka tak ada jalan lain selain mengamputasinya. Memotongnya lalu membuangnya jauh-jauh agar tidak menginfeksi anggota tubuh lainnya.

Jokowi memainkan strategi bertarung nan ciamik. Ia merangkul siapa yang hendak dirangkul. Sementara Ia membiarkan musuhnya berselancar diatas ombak kencang yang dibuat aktor-aktor politik politik itu.

Tidak heran akibat jurus tendangan tanpa bayangan Pak De Jokowi itu dua jenderal yang dulu berseteru itu akhirnya bisa makan nasi goreng bersama. Persekutuan keduanya hanya demi syahwat bisa mengalahkan Jokowi pada pilpres 2019 mendatang.

Sayangnya kedua jenderal gaek ini lupa, untuk mengalahkan Jokowi tidak bisa dengan ilmu militer atau ilmu politik, namun harus punya  karakter sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dan itu tidak ada dimiliki SBY dan PS.

Begitulah kumur-kumur.

Salam Perjuangan